Namanya Arman. Seorang duda beranak satu yang datang ke
hidup Lila seperti hujan pertama setelah kemarau panjang. Lila, yang selama ini
menjaga hatinya rapat-rapat, tak pernah menyangka akan jatuh cinta pada
seseorang yang membawa begitu banyak luka di matanya.
Mereka bertemu di sebuah bengkel kecil tempat Arman bekerja.
Lila datang kerana keretanya ada masalah, dan pulang dengan hati yang mulai
bergetar. Hari demi hari, mereka semakin dekat. Arman tak banyak bicara, tapi
setiap kata yang dia ucapkan terasa jujur. Dia sememangnya tidak menjanjikan
apa-apa, hanya kehadiran yang bermakna dan senyum yang menenangkan.
Namun, suatu pagi, Arman menghilang. Bengkelnya tutup. Nombornya
tak dapat dihubungi. Tanpa pesan dia menghilang, begitu jua tiada alasan yang
diberikan. Seperti kabut yang menguap saat matahari terbit, ia lenyap begitu
saja.
Lila mencari. Ia bertanya pada Kawan-kawan Arman, bahkan cuba
mencari di rumah lamanya. Tapi semua jalan buntu. Yang tersisa hanyalah
kenangan—tawa di bawah pohon mangga, kopi hangat pada pagi yang dingin dan kenagan
yang mencucuk jiwa.
Bulan berganti tahun. Lila belajar berdamai. Ia menulis
surat-surat yang tak pernah dikirim, menyimpan foto-foto yang tak pernah
dipamerkan. Ia mencintai dalam diam, dalam kehilangan, dalam ketidakhadiran.
Sampai suatu hari, di sebuah pasar kecil di kota lain, Lila
melihat susuk tubuh yang dikenalinya, Arman. Rambutnya lebih panjang, wajahnya
lebih tirus. Di sampingnya, seorang anak kecil menggenggam tangannya.
Mata mereka bertemu. Tak ada kata. Hanya senyum kecil dari
Arman, dan anggukan kecil dari Lila. Ia tak bertanya mengapa. Ia tak menuntut
penjelasan. Karena cinta sejati, kadang tak harus memiliki. Cukup tahu bahwa ia
pernah ada—dan pernah membuat hati berdebar.
Kenangan beberapa tahun lepas singgah kembali
Lila tak pernah menyangka bahwa cinta boleh datang dari
seseorang yang telah kehilangan segalanya. Arman bukan lah seorang pemuda yang
mudah didekati. Ia pendiam, penuh luka, dan selalu tampak seperti sedang
menunggu sesuatu yang tidak pernah kunjung tiba. Tapi itulah yang membuat Lila
tertarik—ia ingin menjadi pelabuhan bagi jiwa yang lelah itu.
Pertemuan mereka di bengkel kereta adalah segalanya bagi
Lila. Arman memperbaikinya dengan menggunakan segala ilmu dan Kemahiran yang
dia miliki. Tanpa banyak bicara, hanya sesekali tersenyum, dia menerangkan
punca dan masalah kereta Lila. Tapi ada sesuatu dalam tatapan matanya—sebuah
kesedihan yang dalam, seperti laut yang menyimpan badai.
Hari-hari berikutnya, Lila sengaja datang lagi. Kadang hanya
untuk membeli air mineral, kadang untuk bertanya hal aksesori kereta. Arman
mulai membuka diri, perlahan. Ia bercerita tentang anaknya, tentang isterinya
yang meninggalkannya kerana ketidaksefahaman dan ini membuatkan dia rasa
bersalah yang tak pernah hilang.
Lila mendengarkan. Ia tak mencuba memperbaiki Arman, hanya
hadir. Dan dalam kehadiran itu, cinta tumbuh. Bukan cinta yang meledak-ledak,
tapi yang tenang dan dalam. Seperti akar pohon yang menembus tanah, mencari air
di kedalaman.
Namun, suatu pagi, Arman menghilang. Hati Lila remuk apabila
tanpa pesan dan tanpa jejak dia menghilang. Lila panik, lalu kecewa, lalu
hancur. Ia merasa ditinggalkan tanpa penjelasan. Tapi di balik rasa sakit itu,
ada pertanyaan yang lebih besar: mengapa Arman pergi?
Ia mencari ke mana-mana. Bertanya pada tetangga, Kawan-kawan
Arman, bahkan pernah mencari di rumah lama Arman. Semua berkata hal yang sama:
Arman memang sering menghilang. Ia punya kebiasaan menarik diri saat kenangan
masa lalu menghantui.
Lila akhirnya berhenti mencari. Ia mulai menulis surat-surat
yang tak pernah dikirim. Surat tentang rindu, tentang harapan, tentang luka
yang tak sempat sembuh. Ia menyimpan semuanya di kotak kayu kecil, bersama
foto-foto dan kenangan.
Tahun berlalu. Lila menjadi guru seni di sekolah desa. Ia
mengajar anak-anak melukis, mengajarkan bahwa seni adalah cara untuk
menyembuhkan diri. Tapi di hatinya, Arman tetap tinggal. Bukan sebagai luka,
tapi sebagai sebahagian daripada perjalanan hidupnya.
Suatu hari, saat bercuti ke kota lain, Lila melihat susuk
tubuh yang amat dikenalinya di pasar tradisional. Arman. Rambutnya lebih
panjang, wajahnya lebih tirus. Di sampingnya, seorang anak kecil menggenggam
tangannya.
Lila tidak menuntut penjelasan. Karena cinta sejati, kadang
tak harus memiliki. Cukup tahu bahwa ia pernah ada—dan pernah membuat hati
berdebar.
Lila pulang dengan hati yang ringan. Ia membuka kotak kayu
itu malam harinya, membaca satu surat, lalu membakarnya perlahan. Ia telah
berdamai. Dengan cinta, dengan kehilangan, dan dengan takdir yang tak bisa
dipaksakan.
No comments:
Post a Comment