Friday, 18 July 2025

Hilang dalam Rindu

 


Namanya Arman. Seorang duda beranak satu yang datang ke hidup Lila seperti hujan pertama setelah kemarau panjang. Lila, yang selama ini menjaga hatinya rapat-rapat, tak pernah menyangka akan jatuh cinta pada seseorang yang membawa begitu banyak luka di matanya.

Mereka bertemu di sebuah bengkel kecil tempat Arman bekerja. Lila datang kerana keretanya ada masalah, dan pulang dengan hati yang mulai bergetar. Hari demi hari, mereka semakin dekat. Arman tak banyak bicara, tapi setiap kata yang dia ucapkan terasa jujur. Dia sememangnya tidak menjanjikan apa-apa, hanya kehadiran yang bermakna dan senyum yang menenangkan.

Namun, suatu pagi, Arman menghilang. Bengkelnya tutup. Nombornya tak dapat dihubungi. Tanpa pesan dia menghilang, begitu jua tiada alasan yang diberikan. Seperti kabut yang menguap saat matahari terbit, ia lenyap begitu saja.

Lila mencari. Ia bertanya pada Kawan-kawan Arman, bahkan cuba mencari di rumah lamanya. Tapi semua jalan buntu. Yang tersisa hanyalah kenangan—tawa di bawah pohon mangga, kopi hangat pada pagi yang dingin dan kenagan yang mencucuk jiwa.

Bulan berganti tahun. Lila belajar berdamai. Ia menulis surat-surat yang tak pernah dikirim, menyimpan foto-foto yang tak pernah dipamerkan. Ia mencintai dalam diam, dalam kehilangan, dalam ketidakhadiran.

Sampai suatu hari, di sebuah pasar kecil di kota lain, Lila melihat susuk tubuh yang dikenalinya, Arman. Rambutnya lebih panjang, wajahnya lebih tirus. Di sampingnya, seorang anak kecil menggenggam tangannya.

Mata mereka bertemu. Tak ada kata. Hanya senyum kecil dari Arman, dan anggukan kecil dari Lila. Ia tak bertanya mengapa. Ia tak menuntut penjelasan. Karena cinta sejati, kadang tak harus memiliki. Cukup tahu bahwa ia pernah ada—dan pernah membuat hati berdebar.

Kenangan beberapa tahun lepas singgah kembali

Lila tak pernah menyangka bahwa cinta boleh datang dari seseorang yang telah kehilangan segalanya. Arman bukan lah seorang pemuda yang mudah didekati. Ia pendiam, penuh luka, dan selalu tampak seperti sedang menunggu sesuatu yang tidak pernah kunjung tiba. Tapi itulah yang membuat Lila tertarik—ia ingin menjadi pelabuhan bagi jiwa yang lelah itu.

Pertemuan mereka di bengkel kereta adalah segalanya bagi Lila. Arman memperbaikinya dengan menggunakan segala ilmu dan Kemahiran yang dia miliki. Tanpa banyak bicara, hanya sesekali tersenyum, dia menerangkan punca dan masalah kereta Lila. Tapi ada sesuatu dalam tatapan matanya—sebuah kesedihan yang dalam, seperti laut yang menyimpan badai.

Hari-hari berikutnya, Lila sengaja datang lagi. Kadang hanya untuk membeli air mineral, kadang untuk bertanya hal aksesori kereta. Arman mulai membuka diri, perlahan. Ia bercerita tentang anaknya, tentang isterinya yang meninggalkannya kerana ketidaksefahaman dan ini membuatkan dia rasa bersalah yang tak pernah hilang.

Lila mendengarkan. Ia tak mencuba memperbaiki Arman, hanya hadir. Dan dalam kehadiran itu, cinta tumbuh. Bukan cinta yang meledak-ledak, tapi yang tenang dan dalam. Seperti akar pohon yang menembus tanah, mencari air di kedalaman.

Namun, suatu pagi, Arman menghilang. Hati Lila remuk apabila tanpa pesan dan tanpa jejak dia menghilang. Lila panik, lalu kecewa, lalu hancur. Ia merasa ditinggalkan tanpa penjelasan. Tapi di balik rasa sakit itu, ada pertanyaan yang lebih besar: mengapa Arman pergi?

Ia mencari ke mana-mana. Bertanya pada tetangga, Kawan-kawan Arman, bahkan pernah mencari di rumah lama Arman. Semua berkata hal yang sama: Arman memang sering menghilang. Ia punya kebiasaan menarik diri saat kenangan masa lalu menghantui.

Lila akhirnya berhenti mencari. Ia mulai menulis surat-surat yang tak pernah dikirim. Surat tentang rindu, tentang harapan, tentang luka yang tak sempat sembuh. Ia menyimpan semuanya di kotak kayu kecil, bersama foto-foto dan kenangan.

Tahun berlalu. Lila menjadi guru seni di sekolah desa. Ia mengajar anak-anak melukis, mengajarkan bahwa seni adalah cara untuk menyembuhkan diri. Tapi di hatinya, Arman tetap tinggal. Bukan sebagai luka, tapi sebagai sebahagian daripada  perjalanan hidupnya.

Suatu hari, saat bercuti ke kota lain, Lila melihat susuk tubuh yang amat dikenalinya di pasar tradisional. Arman. Rambutnya lebih panjang, wajahnya lebih tirus. Di sampingnya, seorang anak kecil menggenggam tangannya.

Lila tidak menuntut penjelasan. Karena cinta sejati, kadang tak harus memiliki. Cukup tahu bahwa ia pernah ada—dan pernah membuat hati berdebar.

Lila pulang dengan hati yang ringan. Ia membuka kotak kayu itu malam harinya, membaca satu surat, lalu membakarnya perlahan. Ia telah berdamai. Dengan cinta, dengan kehilangan, dan dengan takdir yang tak bisa dipaksakan.

 

No comments:

Post a Comment